Selasa, 06 Desember 2016

Bersepeda ke Situ Ciburuy


Foto terbaik yang saya tangkap selama di Ciburuy
Ciburuy adalah nama sebuah danau yang berada di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Orang Sunda menyebutnya Situ Ciburuy. Ya, situ adalah danau dalam bahasa Sunda.
Tidak sulit untuk menemukannya, karena berada tidak terlalu jauh dari pintu tol Padalarang atau gerbang Kota Baru Parahyangan. Posisinya berada di arah barat gerbang Kota Baru Parahyangan. Begitu pun apabila kita mencarinya dengan Googlemap, cukup mudah.
***
Perjalanan di mulai dari Car Free Day (CFD) Dago, pada Minggu, 4 Desember 2016. Tempat berkumpul saya, Reza, Windi, dan Fili. Rencananya Birbir akan ikut, namun sayang dia berhalangan. Reza berangkat dari rumahnya di daerah Megabrata (Ciwastra), Windi dari Cirateun - Ledeng, Fili dan saya dari daerah Dago. Pukul delapan lebih, kami mulai bersepeda bersama. Berawal dari ujung terbawah CFD Dago, Cikapayang, jalan layang Pasupati, turun di perempatan Cihampelas lalu terus menyusuri kolong jalan layang Pasupati sampai jalan Pasteur. Masuk ke jalan Gunung Batu, Cimindi, Cimahi, sampai jalan utama yang menuju Padalarang. Bandung – Cimahi – Kabupaten Bandung Barat.  
Pemberhentian pertama yaitu di jalan Gunung Batu, untuk memastikan keikutsertaan Birbir. Namun dia tetap tidak bisa ikut. Pemberhentian ke dua yaitu di sekitaran Museum Iptek di dalam Kota Baru Parahyangan. Windi menyempatkan jajan Baso Tahu dulu di Kota Baru Parahyangan.

Istirahat di Kota Baru Parahyangan di depan Museum Iptek


Muncul Masalah
Kami lanjut perjalanan, karena jarak ke tempat tujuan sudah tidak terlalu jauh. Namun kendala mulai muncul. Bagian tungkai sebelah kiri pedal sepeda yang saya tunggangi gojlag. Gojlag, karena mur (baud) yang mengunci tungkai pedal ke poros/as BB mengendur. Bagian tersebut tidak saya periksa sebelum saya pergi. Tidak seperti bagian kanpas rem, kawat rem, tekanan udara ban, rd dan fd yang saya periksa dulu.
Di Kota Baru Parahyangan saya ditemani Windi mengencangkan mur dengan peralatan seadanya. Saat itu Reza dan Fili sudah terlebih dahulu melanjutkan perjalanan. Setelah mur lebih kencang dan kuat menempel, saya lanjut perjalanan. Reza dan Fili menunggu tidak jauh di depan, di sebuah jembatan di daerah Tagog.
Mur yang telah dikencangkan mengendur lagi, lalu Reza mengeluarkan tang, dan mur pun dikencangkan kembali. Namun tidak bertahan lama, mur itu mengendur lagi.

Orang Baik Masih Ada
Di suatu jalan yang berdebu, truk dan bus berlalu-lalang, Reza menemukan bengkel sepeda. Hanya bengkel (bukan bengkel dan toko asesoris.) Di bengkel tersebut ada dua sepeda yang mejeng, satu MTB sedang diservice. Lalu saya menunjukan kerusakan, Bapak bengkel dengan sigap mengencangkan mur tungkai pedal. Sambil mengobrol tentang keberuntungan saya yang menyadari bagian tersebut tidak baik-baik saja. Akan lebih repot seandainya mur atau pedal kiri saya sampai lepas di jalan.
Dan baiknya Bapak bengkel tersebut, beliau tidak ingin dibayar. Semoga kebaikannya menjadi amal ibadah untuk beliau. Karena beliau, alhamdulilah sampai tulisan ini diketik, pedal sepeda saya baik-baik saja.
Mungkin ini kesalahan saya. Di rumah, sebetulnya ada kunci untuk mengencangkan as BB (milik kakakku), tapi ketika mempersiapkan perjalanan ini, malah saya sengaja untuk tidak membawanya. Saat itu saya pikir, BB, as, sampai pedal adalah bagian yang paling jarang bermasalah –menurut pengalaman saya. Itulah kesalahannya. Padahal meskipun saya bawa, sepasang kunci itu tidak akan membuat saya kerepotan atau menambah beban yang sangat signifikan.
Bengkel tersebut berada di dekat kantor notaris Novie Aprianti sebelum Indomaret di jalan Ciburuy, Padalarang. (Maaf penulisan nama notarisnya tidak lengkap, karena saya tidak sempat mendokumentasikan dengan baik)

Rumah berkanovi melengkung adalah Bengkel dengan pemilik yang baik


Di Sekitar Ciburuy
Kejadian aneh di depan gerbang Situ Ciburuy. Kami, tepatnya saya dihampiri seorang bapak. Awalnya kata-katanya cukup dimengerti, namun semakin lama, kata-katanya semakin tidak bisa dipahami. Dalam hati, saya takut dia dalam proses menghipnotis. Lalu saya mengajak yang lain pergi, tidak ke Ciburuy, tapi ke arah yang lebih jauh dulu, yakni Gunung Hawu. Tidak berniat ke sana, hanya alasan untuk menghindari bapak aneh tadi saja. Ternyata bapak tersebut dalam keadaan mabuk, dan ketika kami akan menjauh, bapak itu berjalan sempoyongan dan hampir jatuh. Kami pastikan dia mabuk, bukan sakit, karena dia masih berniat mengatur motor dan menerima uang parkir dari pengendara motor yang pergi. 
Singkat cerita kami masuk ke wilayah di sekitar Situ Ciburuy. Sampai ke ujung ada semacam dermaga, dan di sana kami mengabadikan beberapa momen. Lalu memutar arah, dan mencari warung untuk minum kopi.
Warung yang menyajikan menu biasa saja, kopi sachet, mie rebus, karedok, dan es kelapa. Namun pemandangan yang indah bisa kita lihat dari warung tersebut. Warung tersebut berada di bibir danau. Kita bisa melihat perahu yang berlalu-lalang, perahu yang dibiarkan mengapung, perahu remote control, dan yang berlatih dayung. Saya juga menemukan nelayan yang menjaring ikan di sisi jauh danau tersebut.

Reza dan Windi, ngobrol di dermaga

Penampakan warung tempat kami ngopi

Pemandangan danau dari warung kopi

Pemandangan danau dari dermaga


Pulang
Pukul satu siang kami pulang, karena angin di sana semakin terasa tidak nyaman. Yang kami takutkan adalah hujan.
Dalam perjalanan pulang kami sempat mampir ke Masjid Agung Cimahi dan beristirahat di Alun-alun kota Cimahi. Lalu kami lanjutkan perjalanan pulang. Windi berbelok di Balubur, menuju ke jalan Purnawarman. Sya, Fili, dan Reza menuju ke Taman Cikapayang untuk mengopi lagi. Dari Cikapayang saya dan Fili mengambil jalan Dipati Ukur, Reza melanjutkan perjalanan pulang melalui jalur Supratman.


Istirahat di kota tetangga, Alun-alun Cimahi

Selasa, 13 September 2016

DI TAMAN

Cerdupa/Cerita dua paragraf

Di bawah sinar matahari yang menembus dedaunan, di taman dengan jalan setapak. Suara air dari saluran irigasi. Udara saat itu cukup sejuk, padahal hari sudah siang. Angin bertiup.

Kau menanyakan kabarku. Kujawab, "Aku baru keluar dari laboratorium..." kau terkejut mendengar jawabanku yang belum selesai, "Wolverine". Kau pun tersenyum manis, seperti dulu. Mengaburkan kehadiran genangan air mata yang sempat kulihat. Senyum yang aku rindukan. 10/9/2016

Jumat, 12 Agustus 2016

CURUG DAGO

Tulisan kali ini dibagi menjadi dua bagian, pertama bagian pengalaman dan bagian ke dua tentang petunjuk arah. Selamat membaca.

BAGIAN PENGALAMAN
Tulisan kali ini saya ingin bercerita tentang pengalaman bersepeda ke Curug Dago. Curug dalam bahasa Indonesia berarti air terjun. Ya , curug ini berada di daerah Dago. Sungainya adalah sungai Cikapundung. Berada di kecamatan Coblong dan menjadi perbatasan kecamatan Coblong dan Cidadap.
Saya pergi ke sana pada hari Minggu (7 Agustus 2016). Bersama tiga orang kawan, yaitu Reza, Edi, dan Awin. Kami bersepeda ke sana. Titik kumpul pertama di Car Free Day Dago, lalu Edi mulai bergabung di McDonald Simpang Dago.
Meskipun berempat saja, tapi sepanjang perjalanan tidak habis-habisnya kami jumpai pesepeda lain. Laki-laki dan perempuan, tua maupun muda, bahkan anak kecil.
Di salah satu persimpangan jalan di Dago pun, kawanku Edi sempat melerai anak-anak bersepeda yang satu sama lain akan berkelahi, padahal mereka berteman. Alasannya ketika yang satu capek, dan yang lain terus mengayuh. Lantas si capek ketinggalan dan marah-marah. Edi dan seorang lelaki di persimpangan melerainya. Malah, laki-laki yang ikut melerai itu sambil tertawa menyuruh anak-anak itu pulang, “Geura baralik kaituh, sia mah barau kélék!” atau dalam bahasa Indonesianya, “Cepat pulang sana, kalian pada bau ketiak!” dan anak-anak yang tadinya akan berkelahi jadi ikut tertawa.
Lanjut kita bahas bersepeda ke Curug Dago saja ya, sudahi membicarakan anak-anak bau kélék itu. Haha.
Kami masuk ke Curug Dago secara resmi, membeli tiket seharga Rp. 12.000,- (yang terbagi menjadi tiket masuk Rp. 10.000,- dan asuransi keselamatan Rp.2.000,-). Oya, tiket tersebut berfungsi untuk masuk ke seluruh kawasan TAHURA atau Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Jadi kalau sudah membeli tiket di Curug Dago, lalu pada hari yang sama ingin melanjutkan ke Dago Pakar, ke Maribaya, bahkan ke Tebing Keraton, satu tiket itu pun cukup. Tapi kawan-kawan pembaca boleh klarifikasi lagi ke bapak penjaga gerbang dan penjual tiket masuk Curug Dago. Seandainya ada keterangan berbeda, atau aturan yang berbeda, tulis saja di komen, agar bermanfaat bagi banyak orang.
Yang pertama kali kami lakukan adalah mengabadikan momen. Lalu, setelah keringat turun, kami membeli kopi di satu-satunya warung yang ada di sana. Hanya Awin yang jajan kopi dan gorengan. Saya dan Reza hanya membeli kopi, sedangkan Edi, saya lupa, dia ngopi atau tidak.
Kami ngopi di bagian taman, berada di bagian atas kawasan Curug Dago. Untuk melihat Curug secara langsung, harus menuruni tangga yang berkelok-kelok cukup curam, dan dalam/jauh. Saat kami ke sana, kondisi tangan tangga yang terbuat dari tembok sedang dalam keadaan rusak. Menurut keterangan Ibu Ceuceu, yang mengaku seorang juru pelihara prasasti yang ada di sana, tangga itu rusak tertimpa pohon yang roboh oleh hujan deras.
Saya sempat bertanya mengenai kedalaman sungai Cikapundung yang tepat di bawah air terjunnya pada Bu Ceuceu juru pelihara prasasti. Jawaban yang saya dapat cukup menarik, Bu Ceuceu menjawab dengan perhitungan tradisional, yakni sedalam “dua leunjeur awi” atau dua batang bambu sambil menunjuk bambu yang cukup besar. Tapi dia menambahkan “kapungkur, saur sepuh” (B.Ind: dulu, kata orang tua).
Di Curuh Dago, dekat sekali pada air terjunnya, terdapat dua buah prasasti. Prasasti tersebut dibuat oleh Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand pada 6 Juni 1901, lalu pada 12 Agustus 1929 Raja Prajadhipok (Rama VII) mengunjungi Curug Dago untuk melihat batu yang terukir paraf ayahandanya, keterangan ini ada pada setiap bangunan merah yang menutupi prasasti.






BAGIAN PETUNJUK ARAH
Akses menuju Curug Dago terbilang mudah. Untuk pergi ke sana jalan utama yang dilalui adalah Jl. Ir. H. Djuanda atau warga Bandung menyebutnya dengan jalan Dago. Patokan paling mudah bisa di mulai dari McDonald di perempatan Simpang (Simpang di sini nama daerah dan nama pasar), perempatan Jl. Ir. H. Djuanda – Jl. Dipati Ukur – Jl. Siliwangi.
Kalau kawan-kawan sudah sampai di McDonald, lanjutkan perjalanan menyusuri jalan Ir. H. Djuanda ke arah terminal (anggap saja lurus ke Utara). Bisa menggunakan kendaraan bermotor pribadi maupun umum, atau bersepeda. Jalannya terus menanjak. Apabila jalannya terasa menurun (mudun) berarti kawan-kawan salah arah.
Anggap saja kawan-kawan sudah pada arah yang tepat.
Rute pertama, lewat jalan Dago POJOK
Dari arah jalan Ir. H. Djuanda (Dago) belok ke kiri. Masuk jalan Dago Pojok atau daerah/kampung Tanggulan. Menyusuri pemukiman warga, jalannya cukup masuk 2 mobil (pas-pasan).
Penanda mulut jalan Dago Pojok, jalan Dago Pojok tepat bersebrangan dengan hotel Seraton. Atau kalian bisa mencari Plang/Papan Identitas SMAN 19 Bandung. Susuri jalan Dago Pojok sampai habis jalan yang cukup untuk masuk mobil. Dari ujung jalan yang cukup untuk mobil ke pintu gerbang/tiket harus dilanjut berjalan kaki menyusuri gang.
Rute ke dua, lewat jalan Anyar Punclut (maaf saya belum kroscek nama asli jalan itu)
Dari jalan Dago, kalian lewati saja Dago Pojok dan Hotel yang tadi disebut (jangan berbelok di Dago Pojok), nanti kawan-kawan akan sampai pada ujung jalan Ir. H. Djuanda. Di sana ada terminal Dago. Tidak jauh dari terminal (yang berada di sebelah kanan jalan), kawan-kawan masih di jalur yang sama seperti yang diambil sejak dari McD di Simpang, maju sedikit, nanti akan ditemukan belokan ke arah kiri, dan jalannya menurun curam (sangat curam). Ikuti turunan itu, berhenti sebelum jembatan. Tengok ke arah kiri, sebelum jembatan, ada gang kecil dengan papan petunjuk “Curug Dago”. Ikuti papan itu. Sekitar 200 meter dari jalan aspal menuju gerbang/pos tiket Curug Dago. Terakhir kali saya datang ke sana (7/8/2016) posnya berwarna abu-abu.


Jumat, 22 Juli 2016

Undang-undang nu kudu dipikanyaho ku anu sok Sesepédahan

Sigana lain urang hungkul nu pernah sesepédahan silih sentak jeung jelema nu maké motor atawa mobil sabab ngarasa rék dicilakakeun atawa ngancem kana kasalametan. Kayaning ku angkot, geus pada apal angkot mah sok eureun sangeunahna; atawa ku motor nu nyiap (nyalip) ti sisieun urang bari jeung ngebut, komo ngelaksonan teu eureun-eureun.
Salian ti cara ngamudikeun kandaraan anu sangeunahna, urang sorangan keur nyepédah pernah ngalaman disentak ku anu numpak mobil modél sédan plat nomerna B. Jelema dina mobil téh budak ngora hungkul, bareng éta mobil ngebut di jl. Siliwangi, Bandung, nu diuk gigireun supir téh ngagorowokeun hiji ngaran sasatoan (ka kuring). Kaudag deui di daerah Simpang, maranéhna keur saleuseurian dina jero mobil. Ku kuring disampeurkeun tuluy di bales. Kabeneran kuring gé bisa keneh nyentak ku ngaran sasatoan.
Atawa kajadian di péngkolan motor di luhureun Simpang Dago, aya motor nu ngelaksonan mangkali-kali ka kuring nu keur nyepédah nanjak. Dina péngkolan ku kuring diomongan, “ngelaksonanna biasa wéh!”, éta jelema ngadon jol ngajawab “Sia ngajak ribut?!”. Nu kitu human error teh sugan, manehna nu ngelaksonan tutuluyan, diomongan kalah ka ngotot.
Kajadian modél kitu téh lain kaalaman ku urang hungkul. Loba béja nu kadéngé ku pribadi, bapa sorangan dina stopan kudu ngadat ka supir mobil pribadi, ku lantaran dina setopan ban tukang sepédahna disuruduk ku éta mobil.
Babaturan urang ngaranna Réza, di Kircon rék gelut jeung supir angkot gara-gara keur nyepédah ampir dirugikeun kasalametanana di jalan raya ku supir angkot. Loba nu pro ka jang Réza cenah.
Salah saurang babaturan, ngaranna Roni gé ngalaman pasualan nu sarua. Jeung manéhna urang ngobrolkeun kajadian-kajadian nu ngancem kasalametan pesepéda di jalan raya, antukna nepi kana ngobrolkeun undang-undang. Kuring sorangan maluruh éta undang-undang anu diobrolkeun.

Ieu undang-undangna:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2009
TENTANG
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Pasal 62
(1)   Pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda.
(2)   Pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas.
Pasal 106
(1)   Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.
(2)   Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda.
Pasal 284
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki atau pesepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Undang-undang lengkapna bisa didownload ti alamat ieu.
(https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ahUKEwiH6qCMnIfOAhWBwI8KHXI2B9gQFggfMAA&url=http%3A%2F%2Fhubdat.dephub.go.id%2Fuu%2F288-uu-nomor-22-tahun-2009-tentang-lalu-lintas-dan-angkutan-jalan%2Fdownload&usg=AFQjCNGzpLAf83pLyZ2JvO8QR3Sdviuqug&bvm=bv.127521224,d.c2I&cad=rja )

Ti ayeuna ka hareup, kadé mun di jalan. Ulah sangeunahna.
Nb: ieu tulisan mudah-mudahan bakal tuluy diropéa, ayeuna mah ngudag diposting heula wé.

Minggu, 17 Juli 2016

Mesin Parkir

Bersepeda hari ini menemukan sesuatu yang baru (untukku). Mesin parkir.

Aku bersepeda ke Car Free Day (CFD) Dago. Dilnjutkan ke Balai Kota Bandung, orang tua menyebut balai kota Bandung dengan sebutan Kebon Raja.

Dari kebon raja lanjut ke jalan Braga. Di Braga aku menikmati kopi dingin sambil memperhatikan bapak tukang parkir / juru parkir yang selain sibuk merapihkan motor, juga sibuk mengarahkan pemilik motor untuk mendaftar parkir ke sebuah mesin berwarna merah berbentuk langsing - tinggi.

Karena hal tersebut baru untukku, aku hampiri bapak jukir. Dan aku menanyai seputar mesin tersebut.

Bapak jukir memberi tahuku, untuk parkir 2 jam, pemilik kendaraan harus memasukan 4 koin Rp. 500,-. Sayangnya aku lupa tidak menyakan apakah bisa jika memasukan 2 x Rp. 1.000,- atau Rp.1.000,- dan 2 x Rp.500,-.

Lalu aku tanyakan, apakah beliau mendapatkan uang (gaji), beliau menjawab "ya", dari Dishub. Dan sesekali ada pemilik kendaraan yang memberi uang juga padanya.

Karena beliau fasih memberi penjelasan, aku pun bertanya dan mendapat jawaban bahwa beliau sempat mendapat pelatihan dari Dishub.

Kata Bapak tersebut, mesin parkir di Jalan Braga Bandung adalah moda parkir percontohan se-Indonesia.
*






Aku menemukan postingan di instagram tentang mesing ini sejak Desember 2013. Haha, aku ke mana saja?

Jumat, 01 Juli 2016

BERSEPEDA KE KANTOR PMI

***Yang bermanfaat dari tulisan ini adalah informasi syarat-syarat mendonor darah. Informasinya ada di bawah.***
Rabu, 29 Juni 2016
Selepas magrib saya bersepeda. Berangkat dari rumah sendiri. Janji bertemu seorang kawan di angkringan dekat kampus ITB (Bandung). Nama kawanku Imu. Angkringan yang saya tuju berada di jalan Gelap Nyawang. Sayang angkringan yang dituju tutup, lantas kami menyusuri warung tenda di sepanjang Gelap Nyawang sampai menemukan penjual nasi goreng di sana. Aku memesan nasi goreng dan kawanku memesan pecel endeso.
Sambil makan, kami menyusun rencana. Akan ke kantor PMI lalu ke alun-alun kota Bandung. Kalo kalian ingin tau alun-alun kota Bandung dan masjid rayanya, buka saja instagram wali kota Bandung, Ridwan Kamil, lalu scrol-scrol sampai ketemu poto pemandangan alun-alunnya.
Beberapa saat setelah makan, kami melanjutkan bersepeda. Rute yang kami pilih yaitu Gelap Nyawang, Ciung Wanara (kalo tidak salah), Cikapayang, Ir. H. Djuanda, dan belok di jalan dekat taman flexy (saya lupa namanya, pokonya dekat 3 store), masuk ke daerah distro-distro, ke daerah Wira Angun-angun yang ada distro Maternal, tapi kami lurus saja sampai ke jalan Bahureksa, belok ke jalan Banda yang ada Jonas. Lalu lanjut ke jalan Riau / Martadinata, belok di stopan yang ada KFC, teruuuuus, sampai di perempatan stadion Siliwangi dan belok ke jalan Aceh. Di Jalan Acehlah kantor PMI bandung berada.
Di bulan Ramadhan, kantor PMI buka 24 jam (kata kawanku).
Saya di sana tidak mendonor darah. Cuma Imu yang mendonor. Tapi saya jadi tau syarat-syaratnya. Saya posting di bawah ya.







Foto 1: biar keliatan ada kue mari
Foto 2: foto bungkus vitamin, syarat donor dara bagian 1.
Foto 3: foto bungkus vitamin, syarat donor darah bagian 2.


  1. Dalam keadaan sehat.
  2. Usia antara 17-60 tahun.
  3. Berat badan minimal 45 Kg untuk setiap donasi darah sebanyak 350 ml.
  4. Tekana darah:- Sistolik : 100 – 160 mmHg- Diastole : 70 – 100 mmHg)
  5. Suhu tubuh calon donor tidak lebih dari 37 C.
  6. Jarak dengan donasi terakhir minimal 2,5 bulan (10 minggu) Untuk donor usia 60 – 65 tahun jarak donasi 6 bulan.
  7. Tidur malam sebelum donasi donor cukup minimal 5 jam.
  8. Sudah sarapan atau makan.
  9. Bagi wanita tidak sedang haid/hamil/menyusui.
  10. Tidak pecandu alkohol dan narkotik.
  11. Tidak mempunyai riwayat penyakit:- Tekanan darah tinggi / rendah- Kurang darah (anemia)- Penyakit gangguan pembekuan darah- Kencing manis(diabetes melitus)- Penyakit infeksi yang ditularkan melalui transfusi darah  (hepatitis, malaria, sifilis, HIV, dll)- Ayan, kejang, kanker.(sumber: bungkus vitamin PT. Corsa Industries)

Agar infonya lebih kuat, saya jelaskan syarat-syarat tersebut saya foto dari bungkus vitamin yang diberikan pihak PMI kepada pendonor. 
Hujan turun, kawanku melakukan prosedur pendonoran, dan saya menunggu di suatu pojok sambil menikmati kue mari yang disediakan di setiap meja tunggu di kantor PMI. Ada petugas konsumsi di PMI yang datang mengantar makanan penuh gizi kepada saya, tapi saya tolak. Karena "rumasa" tidak mendonorkan darah. Konsumsi itu kan untuk orang-orang yang telah mendonorkan darahnya.

Sampai hujan reda, malam sudah larut, rencana ke alun-alun pun batal. Kami pulang, berpisah di dekat Taman Makam Pahlawan. Aku pulang ke daerah Dago, kawanku -Imu pulang ke Padasuka.    

Selasa, 21 Juni 2016

PUNCLUT / PUNCRUT / PENCLUT

Rasa penasaran tentang sebuah nama tempat di perbatasan kota dan kabupaten Bandung, yakni Punclut muncul ketika saya bersepeda ke sana.
Sepulang dari sana, saya membuka kamus bahasa Sunda R.A. Danadibrata, dan menghasilkan tulisan di bawah:
------------------
Oke.. Daerah yang berada di bagian atas Ciumbuleuit yang berhadapan dengan wilayah Lembang, ada yang menyebut Puncrut, ada pula yang menyebut Punclut.

Ada yang menarik, kata puncrut dalam kamus (Bahasa Sunda) bersaudara dengan kata muncrut, iya, berurusan dengan buang air besar. Dalam bahasa Indonesia, muncrut berarti eek yang mencret.

Tapi, apabila kita lihat keadaan geografisnya kata yang lebih tepat untuk tempat tersebut yaitu penclut. Penclut berarti ponclot, ponclot adalah puncak yang lancip ke atas.


Foto di atas adalah foto bapa dan paman saya, saya yang mengambil foto. Bangunan di belakang mereka adalah warung si Ema. Warung yang selalu kami tuju jika bersepeda ke daerah Punclut, untuk ngopi di hari Minggu.
--------------------
Postingan asli dalam bahasa Sunda, diposting di facebook saya, 28 Pebruari 2016.

Okéy.. Daérah luhureun Ciumbuleuit nu paeunteung-eunteung jeung Lémbang aya nu nyebut Puncrut aya ogé nu nyebut Punclut.

Aya nu menarik, kecap puncrut téh dina kamus mah dulurna muncrut, enya, éta urusan kabeuratan. Sedengkeun kecap punclut teu kapanggih dina kamus.

Tapi, upama ningali kaayaan géografisna aya kecap nu leuwih merenah keur éta tempat, kecapna nya éta penclut. Penclut téh ponclot,ponclot téh puncak nu nyungcung.

* kamus R.A. Danadibrata
** éfék sasapédahan tuluy ngopi di warung Si Ema.
*** nu dipoto: bangunan warung Si Ema, bapa, jeung emang guwéh. Tempat: Penclut.

Senin, 20 Juni 2016

Aku yang Mulai Bersepeda

Ini adalah tulisan pertamaku tentang aku dan sepeda. Aku harap aku akan mampu menuliskan apapun tentang aku dan sepeda di waktu yang akan datang. Sekarang, saat aku menuliskan ini aku berkeinginan untuk menuliskan apapun yang aku ‘temukan’ ketika bergelut dengan sepeda.

Sepeda yang aku gunakan sekarang adalah milik bapakku. Sepeda balap jadul atau lebih keren disebut vintage road bike dengan merk Kuwahara, produk Jepang dan tidak akan dijual. Dibeli pada taun 1980an, taun 1990an disimpan dengan kondisi tidak terurus. Lalu setelah sepeda kembali muncul dan kembali nge-trend sepeda itu dipakai lagi, sekitar tahun 2013an.

Untuk permulaan, aku akan bercerita sedikit tentang aku yang mulai bersepeda. Aku mulai rutin bersepeda pada akhir tahun 2015. Jarak yang aku tempuh pun biasa saja. Pergi dari rumah di jalan Tubagus Ismail Raya, di daerah Dago, bersepeda ke kampus UPI di jalan Setiabudi. Tubagus Ismail – Upi menjadi rute bersepeda, selain itu jarang sekali.

Sutu hari di awal tahun 2016, aku tertarik bersepeda bersama bapak, paman, dan kaka sepupuku ke daerah Punclut. Dataran tinggi di kabupaten Bandung, berbatasan sekali dengan kota Bandung, tidka jauh dari lokasi kampus Unpar di jl. Ciumbuleuit. Untuk orang-orang yang ingin bervakansi, Punclut menjadi tempat yang cocok. Di sana banyak rumah makan yang menyajikan pemandangan kota Bandung.
Sejak bersepeda ke punclut itu aku menjadi rutin bersepeda.


Foto 1: Awin, kawanku waktu kuliah, dia pengguna MTB.
Foto 2: Aku
Foto 3: Bapak, paman, dan sepupuku.

Ini semacam curhat ya? Semoga pada tulisan-tulisan setelah ini aku bisa menyajikan sesuatu yang lebih bermanfaat.