Jumat, 12 Agustus 2016

CURUG DAGO

Tulisan kali ini dibagi menjadi dua bagian, pertama bagian pengalaman dan bagian ke dua tentang petunjuk arah. Selamat membaca.

BAGIAN PENGALAMAN
Tulisan kali ini saya ingin bercerita tentang pengalaman bersepeda ke Curug Dago. Curug dalam bahasa Indonesia berarti air terjun. Ya , curug ini berada di daerah Dago. Sungainya adalah sungai Cikapundung. Berada di kecamatan Coblong dan menjadi perbatasan kecamatan Coblong dan Cidadap.
Saya pergi ke sana pada hari Minggu (7 Agustus 2016). Bersama tiga orang kawan, yaitu Reza, Edi, dan Awin. Kami bersepeda ke sana. Titik kumpul pertama di Car Free Day Dago, lalu Edi mulai bergabung di McDonald Simpang Dago.
Meskipun berempat saja, tapi sepanjang perjalanan tidak habis-habisnya kami jumpai pesepeda lain. Laki-laki dan perempuan, tua maupun muda, bahkan anak kecil.
Di salah satu persimpangan jalan di Dago pun, kawanku Edi sempat melerai anak-anak bersepeda yang satu sama lain akan berkelahi, padahal mereka berteman. Alasannya ketika yang satu capek, dan yang lain terus mengayuh. Lantas si capek ketinggalan dan marah-marah. Edi dan seorang lelaki di persimpangan melerainya. Malah, laki-laki yang ikut melerai itu sambil tertawa menyuruh anak-anak itu pulang, “Geura baralik kaituh, sia mah barau kélék!” atau dalam bahasa Indonesianya, “Cepat pulang sana, kalian pada bau ketiak!” dan anak-anak yang tadinya akan berkelahi jadi ikut tertawa.
Lanjut kita bahas bersepeda ke Curug Dago saja ya, sudahi membicarakan anak-anak bau kélék itu. Haha.
Kami masuk ke Curug Dago secara resmi, membeli tiket seharga Rp. 12.000,- (yang terbagi menjadi tiket masuk Rp. 10.000,- dan asuransi keselamatan Rp.2.000,-). Oya, tiket tersebut berfungsi untuk masuk ke seluruh kawasan TAHURA atau Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Jadi kalau sudah membeli tiket di Curug Dago, lalu pada hari yang sama ingin melanjutkan ke Dago Pakar, ke Maribaya, bahkan ke Tebing Keraton, satu tiket itu pun cukup. Tapi kawan-kawan pembaca boleh klarifikasi lagi ke bapak penjaga gerbang dan penjual tiket masuk Curug Dago. Seandainya ada keterangan berbeda, atau aturan yang berbeda, tulis saja di komen, agar bermanfaat bagi banyak orang.
Yang pertama kali kami lakukan adalah mengabadikan momen. Lalu, setelah keringat turun, kami membeli kopi di satu-satunya warung yang ada di sana. Hanya Awin yang jajan kopi dan gorengan. Saya dan Reza hanya membeli kopi, sedangkan Edi, saya lupa, dia ngopi atau tidak.
Kami ngopi di bagian taman, berada di bagian atas kawasan Curug Dago. Untuk melihat Curug secara langsung, harus menuruni tangga yang berkelok-kelok cukup curam, dan dalam/jauh. Saat kami ke sana, kondisi tangan tangga yang terbuat dari tembok sedang dalam keadaan rusak. Menurut keterangan Ibu Ceuceu, yang mengaku seorang juru pelihara prasasti yang ada di sana, tangga itu rusak tertimpa pohon yang roboh oleh hujan deras.
Saya sempat bertanya mengenai kedalaman sungai Cikapundung yang tepat di bawah air terjunnya pada Bu Ceuceu juru pelihara prasasti. Jawaban yang saya dapat cukup menarik, Bu Ceuceu menjawab dengan perhitungan tradisional, yakni sedalam “dua leunjeur awi” atau dua batang bambu sambil menunjuk bambu yang cukup besar. Tapi dia menambahkan “kapungkur, saur sepuh” (B.Ind: dulu, kata orang tua).
Di Curuh Dago, dekat sekali pada air terjunnya, terdapat dua buah prasasti. Prasasti tersebut dibuat oleh Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand pada 6 Juni 1901, lalu pada 12 Agustus 1929 Raja Prajadhipok (Rama VII) mengunjungi Curug Dago untuk melihat batu yang terukir paraf ayahandanya, keterangan ini ada pada setiap bangunan merah yang menutupi prasasti.






BAGIAN PETUNJUK ARAH
Akses menuju Curug Dago terbilang mudah. Untuk pergi ke sana jalan utama yang dilalui adalah Jl. Ir. H. Djuanda atau warga Bandung menyebutnya dengan jalan Dago. Patokan paling mudah bisa di mulai dari McDonald di perempatan Simpang (Simpang di sini nama daerah dan nama pasar), perempatan Jl. Ir. H. Djuanda – Jl. Dipati Ukur – Jl. Siliwangi.
Kalau kawan-kawan sudah sampai di McDonald, lanjutkan perjalanan menyusuri jalan Ir. H. Djuanda ke arah terminal (anggap saja lurus ke Utara). Bisa menggunakan kendaraan bermotor pribadi maupun umum, atau bersepeda. Jalannya terus menanjak. Apabila jalannya terasa menurun (mudun) berarti kawan-kawan salah arah.
Anggap saja kawan-kawan sudah pada arah yang tepat.
Rute pertama, lewat jalan Dago POJOK
Dari arah jalan Ir. H. Djuanda (Dago) belok ke kiri. Masuk jalan Dago Pojok atau daerah/kampung Tanggulan. Menyusuri pemukiman warga, jalannya cukup masuk 2 mobil (pas-pasan).
Penanda mulut jalan Dago Pojok, jalan Dago Pojok tepat bersebrangan dengan hotel Seraton. Atau kalian bisa mencari Plang/Papan Identitas SMAN 19 Bandung. Susuri jalan Dago Pojok sampai habis jalan yang cukup untuk masuk mobil. Dari ujung jalan yang cukup untuk mobil ke pintu gerbang/tiket harus dilanjut berjalan kaki menyusuri gang.
Rute ke dua, lewat jalan Anyar Punclut (maaf saya belum kroscek nama asli jalan itu)
Dari jalan Dago, kalian lewati saja Dago Pojok dan Hotel yang tadi disebut (jangan berbelok di Dago Pojok), nanti kawan-kawan akan sampai pada ujung jalan Ir. H. Djuanda. Di sana ada terminal Dago. Tidak jauh dari terminal (yang berada di sebelah kanan jalan), kawan-kawan masih di jalur yang sama seperti yang diambil sejak dari McD di Simpang, maju sedikit, nanti akan ditemukan belokan ke arah kiri, dan jalannya menurun curam (sangat curam). Ikuti turunan itu, berhenti sebelum jembatan. Tengok ke arah kiri, sebelum jembatan, ada gang kecil dengan papan petunjuk “Curug Dago”. Ikuti papan itu. Sekitar 200 meter dari jalan aspal menuju gerbang/pos tiket Curug Dago. Terakhir kali saya datang ke sana (7/8/2016) posnya berwarna abu-abu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar