Senin, 20 Januari 2014

ALAT KOMUNIKASI DAN KESABARAN

alat komunikasi dan kesabaran

terngiang selalu kata-kata dari seorang (ibu) guru saya dulu, sewaktu di sekolah, entah smp atau sma, entahlah, sudah lebih dari tujuh tahun yang lalu.

beliau berkata tentang perubahan karakter orang pasca munculnya berbagai alat komunikasi. karakter yang berubah itu adalah tingkat kesabaran.

ya, sewaktu alat komunikasi yang diandalkan masyarakat adalah surat, orang-orang akan sabar menunggu surat yang dikirimkan, surat berpindah tempat dalam waktu berhari-hari. lalu sampai di tempat tujuan. dibaca. ada kemungkinan tidak dibalas. kalau pun dibalas, akan memakan waktu berhari-hari lagi untuk perjalanan sang surat hingga sampai kepada si pengirim pertama. dan dalam perjalanan surat dari tiap-tiap pengirim hingga sampainya di tujuan, haruslah ditebus oleh segudang kesabaran.
ya, itu dulu. bahkan saya pun hanya tau dari cerita ibu guru saja.

beralihlah ke era telepon. saya mendengar cerita dari paman saya, dia menjalani masa-masa ABG di awal tahun 90an di Bandung. dia bercerita tentang perjuangan agar bisa menelpon kekasihnya. untuk bisa menelpon, dia harus mengantri di sebuah wartel (warung telepon atau warung telkom, ah, entahlah). selain menceritakan mengantri di wartel, dia menceritakan jenis-jenis telepon umum; ada yang disimpan di warung-warung (bentuknya persegi atau trapesium, dengan lubang koin di bagian atasnya), ada yang menempel di dinding toko atau di suatu tempat husus di pinggir jalan (ada yang menggunakan pecahan uang koin seratus-seribu rupiah dan ada yang menggunakan kartu). saya sendiri pernah melihat telepon-telepon umum itu, tapi tidak (pernah) menggunakannya, karena mungkin saat itu saya belum memiliki tujuan menelepon seseorang.
tentang wartel pun masih berhubungan dengan mengantri, mengantri butuh kesabaran. sabar.

dan masuk lah ke jaman hape. di daerah rumah saya, pengguna hape pertama adalah seorang bapak bernama pa Isak. dia menggunakan hape berbentuk trapesium dengan kartu sim sebesar kartu atm yang dimasukan dari bagian bawah-belakang hape (kalau saya jalan-jalan ke pasar loak, hape pa Isak mirip hape motorola). saya ingat waktu smp (tahun 2000an), ada beberapa teman menggunakan hape, anak-anak keren tentunya (ya di antara sekian banyak siswa tanpa hape, mereka 'borju' sekali. haha) dengan harga sms Rp.350,- per sms saat itu.
Rp.350,- untuk mengirim tulisan dan bisa disebut saat itu juga sudah diterima oleh orang yang dituju terhitung sangat murah.
posisi perangko surat terkalahkan.
durasi menunggu menjadi lebih singkat, dari berhari-hari (menunggu surat sampai tujuan dan mendapat balasan), menjadi hitungan menit (menunggu laporan sms terkirim).

dan era berbagai macam alat komunikasi, aplikasi berkirim pesan, dsb menjadikan komunikasi lebih cepat dan lebih murah. dan ditambah lagi dengan adanya fitur semacam 'ping!' pada bbm atau 'buzz' pada yahoo messenger, yang dengan kata lain 'woy, cepet bales!' . dan kesabaran seseorang pun mulai berkurang, karena pola komunikasi semakin cepat dan toleransi untuk suatu keterlambatan yang berkurang.

apa yang dipikirkan si ibu guru saat itu? saat belum ada bbm, whatsapp, chating facebook, email, atau apapun yang memiliki kemampuan menyampaikan pesan dengan cepat. tapi beliau sudah mempunyai pandangan yang cukup jeli tentang karakter 'sabar' seseorang. mantap.

2 komentar:

  1. lalu apa komentar ibu guru itu sekarang? bukankah pada saat itu saja ibu guru sudah berpikir begitu? apakah saat sudah ada teknologi yg lebih canggih dari telepon dan sms ibu guru akan tambah kaget lagi atau justru terbiasa dan mengikuti arusnya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. hai yurry.
      saya tidak tahu pasti,
      tapi sepertinya beliau memilih membiasakan diri.

      Hapus